Insya Allah semua artikel saya dapat menambah ibadah dan rasa syukur kita kepada Allah SWT, . Kita juga semakin cinta kepada Allah SWT, Rasulullah SAW, para Nabiyullah, para Waliyullah, para Ulama dan para Habaib.
Kamis, 03 Mei 2012
Dalil-dalil larangan mensesatkan, mengkafirkan sesama muslimin
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُم اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَاَهْدَى سَبِيْلاً
“Katakanlah (hai Muhammad) : Biarlah setiap orang berbuat menurut
keadaannya masing-masing, karena Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang
lebih lurus (jalan yang ditempuhnya).” (Al-Isra’ : 84)
فَلاَ تُزَكُّوا أنْفُسَكُم هُوَ أعْلَمُ بِمَن اثَّـقَى
“….janganlah kamu merasa sudah bersih, Dia (Allah) lebih mengetahui
siapa yang bertaqwa.” (An-Najm : 32)
Pada akhir-akhir ini sebagian golongan umat Islam yang mengklaim
dirinya telah menjalankan syari’at (agama) paling benar, paling murni,
pengikut para Salaf Sholeh dan menuduh serta melontarkan kritik tajam
sebagai perbuatan sesat dan syirik kepada sesama muslim, bahkan sampai
berani mengkafirkannya, hanya karena perbedaan pendapat dengan
melakukan ritual-ritual Islam seperti ziarah kubur, berkumpul membaca
tahlilan/yasinan untuk kaum muslimin yang telah meninggal, berdo’a
sambil tawassul kepada Nabi saw. dan para waliyyullah/sholihin,
mengadakan peringatan keagamaan diantaranya maulidin/kelahiran Nabi
saw., pembacaan Istighotsah, dan sebagainya. Bahkan ada yang sampai
berani mengatakan bahwa pada majlis-majlis peringatan keagamaan
tersebut adalah perbuatan mungkar karena didalamnya terdapat, minuman
khamar (alkohol), mengisap ganja dan perbuatan-perbuatan munkar
lainnya. Golongan yang sering mengata- kan dirinya paling benar itu
tidak segan-segan menuduh orang dengan fasiq, sesat, kafir, bid’ah
dholalah, tahrif Al-Qur’an (merubah al-Qur’an) dan tuduhan-tuduhan
keji lainnya. La haula walaa quwwata illah billahi. Ini fitnahan yang
amat keji dan membuat perpecahan antara sesama muslim.
Alasan yang sering mereka katakan bahwa semuanya ini tidak pernah
dilakukan oleh Rasulallah saw., atau para sahabat, dengan mengambil
dalil hadits-hadits dan ayat-ayat Al Qur’an yang menurut paham
mereka bersangkutan dengan amalan-amalan tersebut. Padahal ayat-ayat
ilahi dan hadits Rasulallah saw. yang mereka sebutkan tersebut
ditujukan untuk orang-orang kafir dan orang-orang yang membantah,
merubah dan menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya.
Golongan pengingkar ini sering mengatakan hadits-hadits mengenai suatu
amalan yang bertentangan dengan pahamnya itu semuanya tidak ada,
palsu, lemah, terputus dan lain sebagainya, walaupun hadits-hadits
tersebut telah dishohihkan oleh ulama-ulama pakar hadits.
Begitu juga bila ada ayat Ilahi dan hadits yang maknanya sudah jelas
tidak perlu ditafsirkan lagi serta makna ini disepakati oleh ulama-
ulama pakar dan sebagian ulama dari golongan pengingkar ini sendiri,
mereka dengan sekuat tenaga akan merubah makna ayat dan hadits ini
bila berlawanan dengan paham golongan ini sampai sesuai/sependapat
dengan pahamnya. Disamping itu golongan pengingkar ini akan mentakwil
(menggeser arti) omongan ulama mereka yang menyetujui arti dari ayat
ilahi dan hadits itu sampai sesuai dengan paham mereka. Oleh karenanya
banyak ulama pakar hadits dari berbagai madzhab mencela dan mengeritik
kesalahan golongan pengingkar yang sudah jelas itu. Para pembaca bisa
meneliti dan menilai sendiri nantinya apa yang tercantum dalam buku
dihadapan anda ini.
Kita semua tahu bahwa firman Allah swt. (Alqur’an) yang diturunkan
pada Rasulallah saw. itu sudah lengkap tidak satupun yang ketinggalan
dan dirubah. Bila ada orang yang mengatakan bahwa kalimat-
kalimat/tekts yang tertulis didalam Alqur’an telah dirubah dan lain
sebagainya, omongan seperti ini harus diteliti dan diselidiki apakah
omongan ini bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Begitu juga
dalam ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulallah mengenai masalah haram
atau halal telah diterangkan dengan jelas. Bila tidak ada keterangan
yang jelas untuk suatu masalah, para ulama akan menilai dan meneliti
amalan itu, apakah sejalan dan tidak bertentangan dengan syari’at yang
telah digariskan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya.
Bila amalan tersebut tidak bertentangan dengan syari’at, malah
sebaliknya banyak hikmah dan manfaat bagi ummat muslimin khususnya,
maka para ulama ini tidak akan mengharamkan amalan tersebut. Karena
mengharam- kan atau menghalalkan suatu amalan harus mengemukakan
nash-nash yang khusus untuk masalah itu. Apalagi amalan-amalan dzikir
yang masih ada dalilnya baik secara langsung maupun tidak langsung
yang semuanya mengingatkan kita kepada Allah swt. dan Rasul-Nya serta
bernafaskan tauhid, umpamanya, kumpulan/majlis dzikir (tahlilan,
istighotsah, peringatan keagamaan ..), ziarah kubur, bertawasul dalam
do’a, bertabarruk dan lain sebagainya, tidak ada alasan orang untuk
mengharamkannya. Jadi dalil-dalil yang mereka sebutkan untuk melarang
amalan-amalan yang dikemukakan tadi, itu tidaklah tepat, karena hal
itu termasuk kategori dzikir kepada Allah swt. dan merupakan perbuatan
kebaikan. Dan semua perbuatan baik dengan cara apapun asal tidak
melanggar dan menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya yang telah
digariskan malah dianjurkan oleh agama.
Yang lebih mengherankan, para ulama golongan pengingkar amalan-amalan
tadi, berani menvonis bahwa amalan-amalan itu bid’ah munkar, sesat,
syirik dan lain sebagainya. Kalau seorang ulama sudah berani memfitnah
seperti itu, apalagi orang-orang awam yang membaca tulisan tersebut
justru lebih berbahaya lagi, karena mereka hanya menerima dan
mengikuti tanpa tahu dan berpikir panjang mengenai kata-kata ulama
tersebut.
Perbedaan pendapat antara kaum muslimin itu selalu ada, tetapi bukan
untuk dipertentangkan dan dipertajam dengan saling mensesatkan dan
mengkafirkan satu dengan yang lainnya. Pokok perbedaan pendapat soal-
soal sunnah, nafilah yang dibolehkan ini hendaknya dimusyawarahkan
oleh para ulama kedua belah pihak. Karena masing-masing pihak sama-
sama berpedoman pada Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulallah saw.
(hadits), namun berbeda dalam hal penafsiran dan penguraiannya (sudut
pandang mereka).
Janganlah setelah menafsirkan dan menguraikan ayat-ayat Allah dan
hadits Nabi saw. mengecam dan menyalahkan atau berani
mensesatkan/meng- kafirkan kaum muslimin dan para ulama dalam suatu
perbuatan karena tidak sepaham dengan madzhabnya. Orang seperti ini
sangatlah fanatik dan extreem yang menganggap dirinya paling benar dan
faham sekali akan dalil-dalil syari’at, menganggap kaum muslimin dan
para ulama yang tidak sependapat dengan mereka, adalah sesat, bodoh
dan lain sebagainya. Kami berlindung pada Allah swt., dalam hal
tersebut. Allah Maha Mengetahui hamba-Nya yang benar jalan hidupnya.
Ingat firman Allah swt. diatas (Al-Isra’[17] : 84 dan An Najm [53] :
32).
Kita boleh mengeritik atau mensalahkan suatu golongan muslimin, bila
golongan ini sudah jelas benar-benar menyalahi dan keluar dari garis-
garis syari’at Islam. Umpama mereka meniadakan kewajiban sholat setiap
hari, menghalalkan minum alkohol, makan babi dan lain sebagainya, yang
mana hal ini sudah jelas dalam nash bahwa sholat itu wajib dan minum
alkohol dan makan babi itu haram. Jadi bukan mensesatkan, mengkafirkan
amalan-amalan sunnah yang baik, seperti berkumpulnya orang untuk
berdzikir bersama pada Allah swt. ( pembacaan istighothah, yasinan,
tahlilan, ziarah kubur dan lain sebagainya), apalagi sampai-sampai
menghalalkan darah mereka karena tidak sependapat dengan golongan
tersebut, ‘Audzubillahi.
Begitu juga kita boleh mengeritik/mensalahkan suatu golongan muslimin
yang meriwayatkan hadits tentang tajsim/penjasmanian atau penyerupaan/
tasybih Allah swt. sebagai makhluk-Nya (Umpama; Allah mempunyai
tangan, kaki, wajah secara hakiki atau arti yang sesungguhnya), karena
semua ini tidak dibenarkan oleh ulama-ulama pakar Islam karena hadits
tersebut bertentangan dengan firman Allah swt. yang mengatakan tidak
ada sesuatu- pun yang menyerupai-Nya dan sebagainya, baca surat Asy-
Syuura [42] : 11: surat Al-An’aam [6] : 103; dan surat Ash-Shaffaat
[37] : 159 dan lain-lain. Dengan demikian perbedaan pendapat antara
golongan muslimin yang sudah jelas dan tegas melanggar syari’at Islam,
inilah yang harus diselesai- kan dengan baik antara para ulama setiap
golongan tersebut. Jadi bukan dengan cara tuduh menuduh, cela-mencela
antara setiap kaum muslimin.
Kami ambil satu contoh: “Pengalaman seorang pelajar di kota Makkah
berceritera bahwa ada seorang ulama tunanetra yang suka menyalahkan
dan juga mengenyampingkan ulama-ulama lain yang tidak sepaham dengan
nya mendatangi seorang ulama yang berpendapat tentang jaiznya/boleh-
nya melakukan takwil (penggeseran arti) terhadap ayat-ayat
mutasyabihat/ samar seperti ayat: Yadullah fauqo aidiihim (tangan
Allah diatas tangan mereka), Tajri bi a’yunina ( [kapal] itu berlayar
dengan mata Kami) dan lain sebagainya. Ulama yang membolehkan ta’wil
itu berpendapat bahwa kata tangan pada ayat itu berarti kekuasaan
(jadi bukan berarti tangan Allah swt secara hakiki/sebenarnya)
sedangkan kata mata pada ayat ini berarti pengawasan.
Ulama tunanetra yang memang tidak setuju dengan kebolehan menakwil
ayat-ayat mutasyabihat diatas itu langsung membantah dan mengajukan
argumentasi dengan cara yang tidak sopan dan menuduh pelakuan takwil
sama artinya dengan melakukan tahrif (perubahan) terhadap ayat Al-
Qur’an. Ulama yang membolehkan takwil itu setelah didamprat habis-
habisan dengan tenang memberi komentar: “Kalau saya tidak boleh
takwil, maka anda akan buta di akhirat”. Ulama tunanetra itu bertanya:
“Mengapa anda mengatakan demikian?”. Dijawab : Bukankah dalam surat
al–Isra’ ayat 72 Allah swt berfirman: “Barangsiapa buta didunia, maka
di akhirat pun dia akan buta dan lebih tersesat dari jalan yang
benar”.
Kalau saya tidak boleh takwil, maka buta pada ayat ini pasti diartikan
dengan buta mata dan tentunya nasib anda nanti akan sangat menyedihkan
yakni buta diakhirat karena didunia ini anda telah buta mata
(tunanetra). Karena- nya bersyukurlah dan hargai pendapat orang-orang
yang membolehkan takwil sehingga kalimat buta pada ayat diatas
menurut mereka diartikan dengan: buta hatinya jadi bukan arti
sesungguhnya yaitu buta matanya. Ulama yang tunanetra itu akhirnya
diam membisu, tidak memberikan tanggapan apa-apa”.
Banyak sekali ayat-ayat Ilahi dan perintah Rasulallah saw. agar kita
bersangka baik dan tidak mengkafirkan antara sesama muslim, bila ada
perbedaan dengan mereka alangkah baiknya jika diselesaikan dengan
ber- dialog !
Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 125 : ”Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Sebagai ummat yang terbaik, kita tentu tidak ingin tercerai berai
hanya lantaran berbeda pandangan dalam beberapa masalah yang tidak
prinsipil. Kalau kita teliti lebih dalam ajaran-ajaran Islam, maka
kita akan temukan persamaan diantara golongan masih jauh lebih banyak
daripada perbedaan dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam tersebut.
Tapi kenyataan yang terjadi justru perbedaan yang tidak banyak itulah
yang sering diperuncing dan ditampakkan sementara persamaan yang ada
malah disembunyikan.
Jika perkumpulan (majlis) dzikir dan peringatan keagamaan dilarang,
tidak disenangi dan dianggap sebagai perbuatan bid’ah dholalah
(sesat), bagai mana dengan majlis yang tanpa di-iringi dengan
dzikrullah dan shalawat pada Nabi saw. seperti berkumpulnya kaum
muslimin disuatu tempat hanya sekedar ngobrol-ngobrol saja ?
Mari kita perhatikan hadits-hadits Nabi saw. berikut ini :
Rasulallah saw. bersabda: “Lan yadkhula ahadan minkum ‘amaluhul
jannata qooluu wa laa anta yang Rasulallah, qoola wa laa anaa illaa an
yataghom- madaniyallahu bi fadhlin minhu wa rohmatin”
Artinya: “Tidak ada seorangpun diantara kamu yang akan masuk surga
lantaran amal ibadahnya. Para sahabat bertanya: ‘Engkau juga tidak
wahai Rasulallah?’ Nabi menjawab: ‘Saya juga tidak, kecuali kalau
Allah melimpahkan kepadaku karunia dan rahmat kasih sayang-Nya’ ”.
(HR. Muslim)
Juga sabda Nabi saw dalam hadits yang lain:
“Ayyuhan Naas ufsyuu as salaama wa ath’imuu ath tho’aama wa shiluu al
arhaama wa sholluu bil laili wan naasu niyaamu tadkhuluu al jannata bi
salaamin”
Artinya:“Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berikanlah
makanan, sambungkanlah hubungan persaudaraan dan dirikanlah sholat
ditengah malam niscaya kalian akan masuk surga dengan penuh
keselamatan”.
Memahami hadits diatas ini maka kita akan seharusnya bertanya; ‘Apakah
mungkin karunia dan rahmat kasih sayang Allah swt. akan dilimpahkan
kepada kita sementara perbedaan yang kecil dalam masalah ibadah sunnah
senantiasa kita perbesar dengan saling mengejek, mengolok-olok, men-
fitnah, mensesatkan, saling melukai bahkan saling bunuh….?’
Kunci untuk masuk surga tidaklah cukup dengan hanya melakukan shalat
tengah malam saja, tapi harus ada upaya untuk menyebarkan salam,
memberi bantuan dan menyambung tali persaudaraan. Tanpa adanya tiga
upaya ini, maka sebagian kunci surga kita telah terbuang. Bukankah
perbedaan paham disikapi dengan saling sesat menyesatkan satu sama
lain, sudah tentu, akan mengakibatkan munculnya permusuhan, membikin
kesulit an dan memutuskan tali persaudaraan. Menuduh, mengolok-ngolok
kaum muslimin dengan tuduhan dan memberi gelar yang sangat buruk
seperti bid’ah dholalah, laknat atau syirik ini sama dengan ‘kufur’.
Kalau memang dakwah golongan yang suka mengolok-olok ini senantiasa
berdasarkan Al-Qur’an, mengapa mereka melanggar tuntunan Al-Qur’an
dalam surat Al-Hujurat ayat 11 yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah satu kelompok mengolok
olok kelompok yang lain karena bisa jadi mereka yang diolok-olok itu
justru lebih baik dari mereka yang mengolok-olok. Janganlah pula
sekelompok wanita mengolok-olok kelompok wanita yang lain karena bisa
jadi kelompok wanita yang diolok-olok justru lebih baik dari kelompok
wanita yang mengolok-olok. Janganlah kalian mencela sesamamu dan
janganlah pula kalian saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.
Sejelek-jelek sebutan sesudah beriman adalah sebutan ‘fasiq’.
Karenanya siapa yang tidak bertobat (dari semua itu), maka merekalah
orang-orang yang dzalim”.
Begitu juga kalau dakwah golongan tersebut senantiasa berdasarkan
kepada hadits Nabi saw yang shahih, lalu mengapa mereka melanggar
beberapa hadits shahih diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim:
“Almu’minu lil mu’mini kal bunyaana ya syuddu ba’dhohu ba’dhan”
Artinya: “Seorang mukmin itu terhadap mukmin yang lain adalah laksana
bangunan, yang sebagiannya mengokohkan sebagian yang lain”
Hadits lainnya riwayat Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar:
اِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأِخِهِ: يَا كَافِرُ! فَقَدْ بَاءَ بِهَا أحَدُهُمَا فَاِنْ كَانَ
كَمَا قَالَ وَاِلَى رَجَعَتْ عَلَيْـهِ.
“Barangsiapa yang berkata pada saudaranya ‘hai kafir’ kata-kata itu
akan kembali pada salah satu diantara keduanya. Jika tidak (artinya
yang dituduh tidak demikian) maka kata itu kembali pada yang
mengucapkan (yang menuduh)”.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori :
“Man syahida an Laa ilaha illallahu was taqbala giblatanaa wa shollaa
sholaatana wa akala dzabiihatanaa fa hua al muslimu lahu lil muslimi
‘alaihi maa ‘alal muslimi”
“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, menganut
kiblat kita (ka’bah), shalat sebagaimana shalat kita, dan memakan
daging sembelihan sebagaimana sembelihan kita, maka dialah orang
Islam. Ia mempunyai hak sebagaimana orang-orang Islam lainnya. Dan ia
mempunyai kewajiban sebagaimana orang Islam lainnya”.
Hadits riwayat At-Thabrani dalam Al-Kabir ada sebuah hadits dari
Abdullah bin Umar dengan isnad yang baik bahwa Rasulallah saw.pernah
memerintahkan:
كُفُّوْا عَنْ أهْلِ (لاَ إِِلَهَ إِلاَّ اللهُ) لاَ تُكَفِّرُوهُمْ بِذَنْبٍ وَفِى رِوَايَةٍ وَلاَ تُخْرِجُوْهُمْ مِنَ الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ.
“Tahanlah diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha
illallah’ (yakni orang Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka
karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan : “Janganlah kalian
mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal ( perbuatan)”.
Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Dzarr ra. telah mendengar
Rasulallah saw. bersabda:
وَعَنْ أبِي ذَرٍّ (ر) اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ .صَ. يَقُوْلُ : مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أوْ قَالَ: عَـدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ أِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ(رواه البخاري و مسلم)
“Siapa yang memanggil seorang dengan kalimat ‘Hai Kafir’, atau ‘musuh
Allah’, padahal yang dikatakan itu tidak demikian, maka akan kembali
pada dirinya sendiri”.
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Itban bin Malik ra berkata:
وَعَنْ عِتْبَانَ ابْنِ مَالِكٍ (ر) فِي حَدِيْثِهِ الطَّوِيْلِ الْمَشْهُوْرِ الَّذِي تَقَدََّّمِ فِي بَابِ الرََََََََّجََاءِ قَالَ :
قَامَ النَّبِيّ .صَ. يُصَلِّّي فَقَالَ: اَيْنَ مَالِكُُ بْنُ الدُّخْشُمِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ: ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَلاَ رَسُولَهُ,
فَقَالَ النَّبِيُّ .صَ. : لاَتَقُلْ ذَالِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ: لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله ُ
يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَاِنَّ اللهَ قدْ حَرَّمَ عَلَي النَّاِر مَنْ قَالَ :
لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَالِكَ وَجْهَ الله (رواه البخاري و مسلم)
“Ketika Nabi saw. berdiri sholat dan bertanya: Dimanakah Malik bin
Adduch-syum? Lalu dijawab oleh seorang: Itu munafiq, tidak suka kepada
Allah dan Rasul-Nya. Maka Nabi saw. bersabda: Jangan berkata demikian,
tidakkah kau tahu bahwa ia telah mengucapkan ‘Lailahailallah’ dengan
ikhlas karena Allah. Dan Allah telah mengharamkan api neraka atas
orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas karena
Allah”.
Dari Zaid bin Cholid Aljuhany ra berkata: Rasulallah saw. bersabda;
عَنْ زَيْدِ أبْنِ خَالِدٍ اَلْجُهَنِيَّّ(ر) قاَلَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ .صَ . لاَ تَسُبُّوْا
الدِّيْكَ فَأِنَّهُ يُوْقِظُ لِلصَّلاَةِ (رواه أيو داود)
“Jangan kamu memaki ayam jantan karena ia membangunkan untuk
sembahyang”. (HR.Abu Daud).
Binatang yang dapat mengingatkan manusia untuk sholat shubuh yaitu
berkokoknya ayam jago pada waktu fajar telah tiba itu tidak boleh kita
maki/cela, bagaimana dengan orang yang suka mencela, mensesatkan
saudaranya yang mengadakan majlis dzikir (peringatan maulidin nabi,
pembacaan Istighotsah dan sebagainya) yang disana selalu didengungkan
kalimat-kalimat ilahi, sholawat pada Nabi saw.. serta pujian-pujian
pada Allah swt. dan Rasul-Nya yang semuanya ini tidak lain bertujuan
untuk mengingatkan serta mendekatkan diri pada Allah swt. agar menjadi
hamba yang mencintai dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya?
Pikirkanlah !
Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Hurairah ra telah mendengar
Rasulallah saw. bersabda :
وَعَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) أنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ.صَ. يَقُوْلُ: أِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا يَزِلُّ بِهَا أِلَى النَّارِ اَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ (رواه البخاري ومسلم)
Sungguh ”adakalanya seorang hamba berbicara sepatah kata yang tidak
diperhatikan, tiba-tiba ia tergelincir ke dalam neraka oleh kalimat
itu lebih jauh dari jarak antara timur dengan barat”.
Memahami hadits ini kita disuruh hati-hati untuk berbicara, karena
sepatah kata yang tidak kita perhatikan bisa menjerumuskan kedalam api
neraka. Nah kita tanyakan lagi, bagaimana halnya dengan seseorang yang
sering mensesatkan golongan muslimin yang selalu mengadakan majlis
dzikir, peringatan-peringatan agama yang didalam majlis-majlis
tersebut selalu dikumandangkan tasbih, tahmid, sholawat pada Nabi saw.
dan lain sebagainya ? Pikirkanlah !
Didalam surat An-Nisaa [4]: 94 artinya; “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan
janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ‘salam’
kepadamu ‘Kamu bukan seorang mukmin’ (lalu kamu membunuhnya).. sampai
akhir ayat.”
Lihat ayat ini dalam waktu perang pun kita tidak boleh menuduh atau
mengucapkan pada orang yang memberi salam (dimaksud juga orang yang
mengucapkan Lailaaha illallah) sebagai bukan orang mukmin sehingga
kita membunuhnya.
Masih banyak riwayat yang melarang orang mencela, mengkafirkan sesama
muslimin yang tidak dikemukakan disini. Jelas buat kita dengan adanya
ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulallah saw. diatas, kita bisa
bandingkan sendiri bagaimana tercelanya orang yang suka menuduh sesat,
kafir, syirik terhadap sesama musliminnya yang senang melakukan
amalan-amalan kebaikan (diantaranya dzikir bersama, tahlilan,
memperingati hari lahir Nabi saw. dan sebagainya) disebabkan mereka
tidak sefaham atau sependapat dengan orang ini ? Begitu juga orang
yang mencela, mensesatkan satu madzhab karena tidak sepaham dengan
madzhabnya.
Sebab tuduhan ini sangat berbahaya. Nabi saw. menyuruh agar kita harus
berhati-hati dan tidak sembarangan untuk berbicara, yang mana ucapan
itu bisa mengantarkan kita keneraka. Malah perintah Allah swt. (dalam
surat Toha ayat 43-44) kepada Nabi Musa dan Harun -‘alaihimassalam-
agar mereka pergi keraja Fir’aun yang sudah jelas kafir dan melampaui
batas untuk mengucapkan kata-kata yang lunak/halus terhadapnya,
barangkali dia (Fir’aun) bisa sadar/ingat kembali dan takut pada Allah
swt. Untuk orang kafir (Fir’aun) saja harus berkata halus apalagi
sesama muslim. Wallahu a’lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar