Jumat, 22 November 2013

Tausiyah: Dalil Hadits Fadhilah Surat Yasin

Oleh: KH. Muhammad Idrus Ramli. Salah satu tradisi yang hampir merata di negeri kita adalah tradisi Yasinan. Yaitu, tradisi membaca surat Yasin bersama-sama. Baik membacanya sendirisendiri maupun membacanya secara berjamaah dengan dipandu oleh seorang qari' yang dianggap paling baik bacaannya, Tidak jarang, tradisi Yasinan ini dilakukan di makam para wali dan ulama ketika ziarah ke makam mereka. Dalam sebuah diskusi di JL Sekar Tunjung IV/27, Denpasar, ada teman bernama Suwarno, Ketua Forum Studi Islam Bali (FOSIBA) bertanya, mengenai haditshadits tentang fadhilah surat Yasin. Apakah hadits-hadits tersebut shahih atau tidak. Mendengar pertanyaan itu, saya balik bertanya, mengapa Anda bertanya demikian. Akhirnya ia menyodorkan sebuah buku kecil dengan cover biru berjudul YASINAN, KAJIAN MELURUSKAN AQIDAH, karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Setelah melihat nama penulis buku kecil tersebut, saya teringat cerita teman saya setahun sebelumnya, Ustadz Ali Rahmat, Lc., seorang kiai muda yang kini tinggal di Jakarta. Bahwa suatu ketika beberapa pemuda Ahlussunnah Wal-Jama'ah menghadiri pengajian Yazid bin Abdul Qadir Jawas dan Abdul Hakim Amir Abdat di slamic Center Jakarta Utara. Setelah acara selesai, beberapa pemuda itu meminta kesediaan Yazid Jawas untuk berdebat secara terbuka dengan para ulama tentang tulisan-tulisannya yang banyak melawan arus kaum Muslimin di tanah air. Dan sebagaimana dapat ditebak, jawaban Yazid memang menyatakan ketidaksiapan untuk berdebat secara terbuka. dengan siapapun. Tentu saja karena ia merasa dalil-dalilnya lemah semua dan mudah dipatahkan dalam arena perdebatan ilmiah. Setelah buku kecil bersampul biru itu saya baca, temyata dalam buku tersebut, Yazid Jawas sangat cerdik dalam menyembunyikan kebenaran tentang fadhilah surat Yasin. Sebagaimana dimaklumi, di kalangan ahli hadits ada dua kelompok berbeda dalam menyikapi hadits-hadits fadhilah surat Yasin. Pertama, kelompok ekstrem yang menganggap hadits-hadits tentang fadhilah surat Yasin tidak ada yang shahih, yaitu kelompok Ibn al-Jauzi dalam kitab al-Maudhu’at. Dan kedua, kelompok moderat yang menganggap bahwa hadits-hadits tentang fadhilah surat Yasin ada yang shahih dan hasan, yaitu kelompoknya al- Imam al- Hafizh Abu Hatim bin Hibban dalam Shahih-nya, al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi dalam Tafsi-nya, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam Tadrib al-Rawi, al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir dan al-Fawaid al- Majmu’ah dan lain-lain. Menurut keyakinan saya, sebenamya Yazid mengetahui hadits-hadits shahih tersebut, karena dalam buku kecil itu Yazid juga merujuk terhadap kitab Tafsir al- Hafizh Ibn Katsir dan al-Fawaid al-Majmu’ah karya al- Syaukani. Akan tetapi, keshahihan hadits-hadits fadhilah surat Yasin dalam kedua kitab tersebut agaknya dapat merugikan kepentingan Yazid yang berideologi Wahhabi yang sangat kencang memerangi tradisi Yasinan. Sehingga Yazid beralih dari kedua kitab tersebut dan sebagai solusinya ia merujuk kepada kitab-kitab dan komentar-komentar yang memaudhu'kan dan mendha'ifkan saja. Berikut ini saya kutipkan hadits-hadits (shahih) tentang fadhilah surat Yasin dari Tafsir Ibn Katsir yang menjadi rujukan utama Yazid Jawas dalam semua bukunya. "Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang membaca surat Yasin pada malam hari, maka pagi harinya ia diampum oleh Allah. Barangsiapa yang membaca surat al-Dukhan, maka ia diampuni oleh Allah." (HR Abu Ya'la). Menurut al-Hafizh Ibn Katsir, hadits ini sanad-nya jayyid (shahih). Komentar Ibn Katsir ini juga dikutip dan diakui oleh al-Imam al-Syaukani dalam tafsimya Fath al-Qadir, bahwa sanad hadits tersebut jayyid, alias shahih.. "Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang membaca surat Yasin pada malam hari karena mencari ridha Allah, maka Allah akan mengampuninya," (HR. Ibn Hibban dalam Shahih-nya). Hadits ini dishahihkan oleh al-Imam Ibn Hibban dan diakui oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam Tafsir-nya, al- Hafizh Jalahiddin al-Suyuthi dalam Tadrib al- Rawi, dan al- Imam al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir dan al-Fawaid al- Majmu’ah. Al-Syaukani berkata dalam al-Fawaid al- Majmu’ah sebagai berikut: "Hadits, "Barangsiapa membaca surat Yasin karena mencari ridha Allah, maka Allah akan mengampuninya diriwyatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Humairah secara marfu’ dan sanadnya sesuai dengan kriteria hadits shahih. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dan al- Khathib. Sehingga tidak ada alasan merryebut hadits tersebut dalam kitab-kitab al-Maudhu’at (tidak benar menganggapnya sebagai hadits maudhu’)." (Al-Syaukani, al-Fawaid al- Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, haL 302-303). Demikian hadits-hadits fadhilah surat Yasin yang di- shahih-kan dalam Tafsir Ibn Katsir dan al-Fawaid' al- Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah. Kedua kitab ini menjadi rujukan Yazid Jawas dalam bukunya, YASINAN. Berikut ini akan saya kutip sebuah pemyataan dari salah seorang ulama salaf, yaitu al- Imam Abdurrahman bin Mahdi, yang sudah barang tentu dihafal oleh kalangan Wahhabi seperri Yazid Jawas. Al- Imam Abdurrahman bin Mahdi berkata: "Ahlussunnah akan menulis apa saja, baik menguntungkam maupun merugjkan mereka. Tetapi ahli bid'ah hanya akan menulis apa yang menguntungkan saja." Seandainya Hadits Fadhilah Surat Yasin Dha'if Dalam sebuah diskusi di Mushalla Nurul Hikmah Perum Dalung Permai Denpasar, ada salah seorang Wahhabi berbicara. Menurutnya, bagaimana seandainya hadits-hadits yang diamalkan oleh kaum Muslimin itu hadits dha'if?. Dalam kesempatan tersebut, saya menyampaikan, seandainya hadits-hadits tentang keutamaan surat Yasin itu dha'if, maka hal tersebut tidak menjadi persoalan. Sebab para ulama sejak generasi salaf yang saleh telah bersepakat mengamalkan hadits dha’if dalam konteks fadhail al-a’mal. Syaikhul Islam al- Imam Hafizh al-’Iraqi berkata: "Adapun hadits dha'if yang tidak maudhu' (palsu), maka para ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa menjelaskan kedha'ifannya, apabila hadits tersebut tidak berkaitan dengan hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib dan tarhib seperti nasehat, kisah-kisah, fadhail al-a'mal dan lain-lain. Adapun berkaitan dengan hukum-hukum syar'i berupa halal, haram dan selainnya, atau akidah seperti sifat-sifat Allah, sesuatu yang jaiz dan mustahil bagi Allah, maka para ulama tidak melihat kemudahan dalam hal itu. Di antara para imam yang menetapkan hal tersebut adalah Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin al-Mubarak dan lain-lain. Ibn Adi telah membuat satu bab dalam mukaddimah kitab al-Kamil dan al-Khathib dalam al-Kifayah mengenal hal tersebut." (Al-Hafizh al-lraqi, al-Tabshirah wa al-Tadzkirah,juz 1, hal. 291). Sebagai bukti bahwa hadits-hadits dha'if itu ditoleransi dan diamalkan dalam konteks fadhail al-a'mal dan sesamanya, kita dapati kitab-kitab para ulama penuh dengan hadits-hadits dha’if, termasuk kitab-kitab Syaikh Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyah dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi pendiri aliran Wahhabi. Dalam Catatan sejarah, orang yang pertama kali menolak hadits dha'if dalam konteks fadhail al-a'mal dan sesamanya adalah Syaikh Nashir al- Albani, ulama Wahhabi dari Yordania, dan kemudian diikuti oleh para Wahhabi di Indonesia seperti Hakim Abdat, Yazid Jawas, Mahrus Ali dan lain-lain. Tentu saja, pandangan Syaikh Nashir menyalahi pandangan para ulama' sebelumnya termasuk kalangan ahli hadits. Rasulullah SAW Tidak Pernah Mengerjakan Suatu pagi, awal Agustus 2010, saya mendapati kiriman SMS dari seorang teman. Isinya, berkaitan dengan pemyataan Syaikh Ali dalam acara Indahnya Sedekah di Televisi Pendidikan Indonesia, bersama Ustadz Yusuf Manshur. Dalam acara itu, Syaikh Ali ditanya tentang hukum Maulid Nabi SAW. Kemudian Syaikh Ali menjawabnya dengan mengutip pernyataan Syaikh Ibn Taimiyah dalam Iqtidha' al-Shiratt al-Mustaqim yang menilai positif perayaan maulid Nabi SAW. Hanya saja di bagian akhir pernyataannya, Syaikh Ali mengeluarkan pernyataan yang kontroversial dan sarat dengan aroma Wahhabi. Dalam hal itu ia mengatakan, "Kita harus meninggalkan segala sesuatu yang tidak pemah dikerjakan oleh Rasulullah SAW." Agaknya Syaikh Ali ini memang seorang Wahhabi yang berupaya menyebarkan faham Wahhabi melalui acara televisi di TPI. (Catatan : Apabila Syaikh Ali yang dimaksud diatas adalah Syaikh Ali Jaber Al-Madani (Ulama Madinah yang kini tinggal di Indonesia mengikuti istrinya dan sering tampil di televisi di acara Indahnya Sedekah), maka pendapat saya (Luqman Firmansyah) mengenai hal ini adalah Syaikh Ali bukanlah orang Wahhabi. Hal ini didasarkan atas pengalaman pribadi saya yang pernah menghadiri langsung acara yang berjudul Peringatan Maulid Nabi Februari 2011 kemarin di Masjid Raya Makassar. Tampak dalam baliho di depan masjid tertulis “Peringatan Maulid Nabi bersama Syaikh Ali Jaber Al-Madani”. Dalam taushiyahnya yang saya lihat dan saya dengar sendiri beliau menyebutkan bahwa peringatan Maulid Nabi sangat baik untuk dilakukan. Bahkan Syaikh Ali menceritakan sedikit kisahnya bahwa suatu hari ia mendengarkan ceramah dari seorang ustadz di Masjid namun yang dibicarakan oleh ustadz tersebut hanyalah seputar tema bid’ah dan bid’ah saja. Selesai acara Syaikh Ali menemuinya lalu mengatakan “muka anda juga bid’ah”. Dari cerita tersebut maka saya menyimpulkan bahwa beliau, Syaikh Ali bukanlah seorang wahhabi. Salah seorang teman saya juga berhasil merekam video taushiyahnya dari awal hinggal akhir. Dan apabila anda ingin melihat videonya sebagai bukti bisa hubungi saya. Semoga Syaikh Ali yang di maksud dalam buku ini bukan Syaikh Ali yang pernah yang temui di Makassar. Wallahu a’lam) Dalam diskusi di Mushalla al-Fitrah, Jl. Gunung Mangu, Monang Maning Denpasar, pada akhir Juli 2010, ada seorang Wahhabi berinisial HA berkata: “Ustadz, Rasulullah SAW tidak pemah mengumpulkan para sahabat, lalu membaca Surat Yasin secara bersama-sama. Oleh karena itu, berarti tradisi Yasinan itu bid'ah dan tidak boleh dilakukan." Demikian kata HA dengan suara agak berapi-api. Pernyataan HA tersebut saya jawab: "Sesuatu yang tidak pemah dikerjakan oleh Rasulullah SAW, atau para sahabat dan ulama salaf itu belum tentu dilarang atau tidak boleh. Berdasarkan penelitian terhadap hadits-hadits Nabi SAW, al-Hafizh Abdullah al-Ghumari menyimpulkan, bahwa sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW mengandung beberapa kemungkinan: Pertama, Nabi SAW meninggalkannya karena tradisi di daerah beliau tinggal. Nabi SAW pernah disuguhi daging biawak yang dipanggang. Lalu Nabi M bermaksua menjamahnya dengan tangannya. Tiba-tiba ada orang berkata kepada beliau: "Itu daging biawak yang dipanggang." Mendengar perkataan itu, Nabi SAW tidak jadi memakannya. Lalu beliau ditanya, "Apakah daging tersebut haram?" Beliau menjawab: "Tidak haram, tetapi, daging itu tidak ada di daerah kaumku, sehingga aku tidak selera." Hadits ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim. Kedua, Nabi SAW meninggakannya karena lupa. Suatu ketika Nabi SAW lupa meninggalkan sesuatu dalam shalat. Lalu beliau ditanya, "Apakah terjadi sesuatu dalam shalat?" Beliau menjawab: "Saya juga manusia, yang bisa lupa seperti halnya kalian. Kalau aku lupa meninggalkan sesuatu, ingatkan aku." Ketiga, Nabi SAW meninggalkannya karena khawatir diwajibkan atas umatnya. Seperti Nabi SAW meninggalkan shalat tarawih setelah para sahabat berkumpul menunggu untuk shalat bersama beliau. Keempat, Nabi SAW meninggalkannya karena memang tidak pemah memikirkan dan terlintas dalam pikirannya. Pada mulanya Nabi SAW berkhutbah dengan bersandar pada pohon kurma dan tidak pemah berpikir untuk membuat kursi, tempat berditi ketika khutbah. Setelah sahabat mengusulkannya, maka beliau menyetujuinya, karena dengan posisi demikian, suara beliau akan lebih didengar oleh mereka. Para sahabat juga mengusulkan agar mereka membuat tempat duduk dari tanah, agar orang asing yang datang dapat mengenali beliau, dan temyata beliau menyetujuinya, padahal belum pernah memikirkannya. Kelima, Nabi M meninggalkannya karena hal tersebut masuk dalam keumuman ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-haditsnya, seperti sebagian besar amal-amal mandub (sunnat) yang beliau tinggalkan karena sudah tercakup dalam firman Allah : "Lakukanlah kebaikan, agar kamu menjadi orang-orang yang beruntung." (QS. al-Hajj: 77). Keenam, Nabi SAW meninggalkannya karena menjaga perasaan para sahabat atau sebagian mereka. Nabi bersabda kepada Aisyah: "Seandainya kaummu belum lama meninggalkan kekufuran, tentu Ka'bah itu aku bongkar lalu aku bangun sesuai dengan fondasi yang dibuat oleh Nabi Ibrahim karena orangorang Quraisy dulu tidak mampu membangunnya secara sempuma." Hadits ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim. Nabi SAW tidak merekonstruksi Ka'bah karena menjaga perasaan sebagian sahabatnya yang baru masuk Islam dari kalangan penduduk Makkah. Kemungkinan juga Nabi SAW meninggalkan suatu hal karena alasanalasan lain yang tidak mungkin diuraikan semuanya di sini, tetapi dapat diketahui dari meneliti kitab-kitab hadits. Belum ada suatu hadits maupun atsar yang menjelaskan bahwa Nabi SAW meninggalkan sesuatu karena hal itu diharamkan. Demikian pernyataan al- Hafizh Abdullah al-Ghumari dengan disederhanakan. Berkaitan dengan membaca al-Qur'an atau dzikir secara bersama, al-Imam al-Syaukani telah menegaskm dalam kitabnya, al-Fath al-Rabbai fi Fatawa al- Imam al-Syaukani sebagai berikut: “Ini adalah himpunan ayat-ayat al-Qur'an ketika melihat pertanyaan ini. Dalam ayat-ayat tersebut tidak ada pembatasan dzikir dengan cara mengeraskan atau memelankan, meninggikan atau merendahkan suara, bersama-sama atau sendirian. Jadi ayat-ayat tersebut memberi pengertian anjuran dzikir dengan semua cara tersebut.” (Syaikh al-Syaukani, Risalah al-Ijtima’ ‘ala al- Dzikir wa al-Jahr bihi, dalam kitab beliau al-Fath al-Rabbani min Fatawa al- Imam al-Syaukani, hal 5945). Pernyataan al-Syaukani di atas, adalah pernyataan seorang ulama yang mengerti al-Qur'an, hadits dan metode pengambilan hukum dari al-Qur'an dan hadits. Berdasarkan pernyataan al-Syaukani di atas, membaca al-Qur'an bersama-sama tidak masalah, bahkan dian|urkan sesuai dengan ayat-ayat al- Qur’an yung menganjurkan kita memperbanyak dzikir kepada Allah dengan cara apapun. Mengapa Membaca Usholli Pembicaraan mengenai bid'ah hasanah di Mushalla Baitul Mustaqim Jimbaran Bali, pada 25 Juli 2010, membawa pada pembicaraan mengenai hukum membaca ushalli ketika setiap akan shalat. Seorang teman berbicara, "Mengapa kita membaca ushalli? Apakah Rasulullah SAW pernah melakukannya ketika akan menunaikan shalat?" Menjawab pertanyaan ini, saya menjelaskan: "Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW mengucapkan kata Ushalli ketika akan shalat. Para ulama fuqaha yang menganjurkan membaca Ushalli juga tidak beralasan bahwa Rasulullah SAW telah melakukannya. Dasar filosofi mengapa para ftiqaha menganjurkan membaca Ushalli adalah demikian: Pertama, Rasulullah SAW bersabda, “innama al-a’malu binniyat (segala perbuatan itu tergantung pada niatnya"). Hadits ini menjadi dalil wajibnya niat ketika kita akan menunaikan ibadah. Kedua, setelah redaksi hadits tersebut, ada redaksi, "wainnama likulli imri'in ma nawa (seseorang hanya akan memperoleh apa yang telah diniatinya)". Hal ini menunjukkan bahwa ketika ibadah itu memiliki beberapa macam yang berbeda, maka harus dilakukan ta'yin (penentuan) dalam niat. Misalnya shalat fardhu itu ada lima, zhuhur, ashar, maghrib, isya' dan shubuh. Dari sini, seorang yang akan menunaikan shalat fardhu, harus menentukan shalat fardhu apa yang akan ia lakukan. Ketiga, secara kebahasaan, niat itu diistilahkan dengan bermaksud melakukan sesuatu bersamaan dengan bagian awal pelaksanaannya. Seseorang tentunya akan merasa kesulitan untuk melakukan niat di dalam hati bersamaan dengan awal pelaksanaan shalat. Sedangkan mengucapkan niat sebelum melakukan takbiratul ihram, dapat membantu konsentrasi hati dalam melakukan niat shalat fardhu yang disertai ta'yin di atas. Dari sini kemudian para ulama,; fuqaha menganjurkan mengucapkan niat sebelum mengucapkan takbiratul ihram, agar ucapan niat tersebut; membantu konsentrasi hati ketika takbiratul ihram ilakukan. Para ulama fuqaha mengatakan, dianjurkan mengucapkan niat dengan lidah, agar lidah dapat membantu hati (liyusa’ida allisan al-qalba) dalam melakukan niat. Di sisi lain, Rasulullah SAW juga pernah mengucapkan niat dengan lidah ketika akan menunaikan ibadah haji. "Dari sahabat Anas RA berkata, saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan, labbaika aku sengaja mengerjakan umrah dan haji . (HR. Muslim) Dengan demikian mengucapkan niat dalam shalat dapat dianalogikan dengan pengucapan niat dalam ibadah haji." Wallahu a'lam

Kamis, 14 Maret 2013

Syaikh Albani; ‘Bukan Ahli Hadis dan Penuh Kontradiksi’

Kitab-kitab modern saat ini, atau kitab klasik yang ditakhrij, karya-karya tulis ilmiyah, artikel-artikel dan sebagainya, serentak semuanya menggunakan hasil takhrij hadis yang dilakukan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani. Ada apa di balik gerakan ini? Sosok yang satu ini tiba-tiba melejit menjadi ‘ahli hadis’ tanpa tandingan bagi kalangan Wahhabi, tanpa diketahui perjalanan menuntut ilmu hadisnya dan guru-guru yang membimbingnya. Sementara tahapan teoritik dan factual untuk menjadi ‘Ahli Hadis’ amatlah rumit dan tak semudah menjadi ahli hadis gadungan. Disini saya rangkai secara sistematis pembahasan tentang tema diatas dengan didahului perihal ilmu hadis, kriteria seorang ahli hadis, ahli hadis gadungan yang menempuh jalan otodidak, dan bukti-bukti nyata kesalahan fatal ahli hadis palsu, baik dari pengikut Albani maupun dari para kritikusnya. Selamat Membaca, semoga Allah memberi manfaat dan meningkatkan kewaspadaan dalam masalah ini. Amin Ilmu Hadis Hadis terdiri dari dua disiplin ilmu, yaitu Ilmu Dirayat dan Ilmu Riwayat. Ilmu Dirayat lebih dikenal dengan ilmu Mushtalah Hadis yang membahas status hadis terkait sahih, hasan, dlaif atau maudlu’nya. Sementara ilmu Riwayat berkaitan dengan sanad hadis sampai kepada Rasulullah Saw. Kedua disiplin ilmu ini tidak dapat dipilih salah satunya saja bagi ahli hadis, keduanya harus sama-sama mampu dikuasai. Sebagaimana yang dikutip beberapa kitab Musthalah Hadis terkait pengakuan Imam Bukhari bahwa beliau hafal 300.000 hadis, yang 100.000 adalah sahih dan yang 200.000 adalah dlaif, maka Imam Bukhari juga hafal dengan kesemua sanadnya tersebut. (Syarah Taqrib an-Nawawi I/13) Ilmu hadis memiliki kesamaan dengan ilmu Qira’ah al-Quran, yaitu tidak cukup dengan ilmu secara teori dari teks kitab dan tidak cukup secara otodidak, tetapi harus melalui metode ‘Talaqqi’ atau transfer ilmu secara langsung dari guru kepada murid dalam majlis ilmu. Kriteria ‘Ahli Hadis’ Dan ‘al-Hafidz’ al-Hafidz as-Suyuthi mengutip dari para ulama tentang ‘ahli hadis’ dan ‘al-hafidz’: قَالَ الشَّيْخُ فَتْحُ الدِّينِ بْنِ سَيِّدِ النَّاسِ وَأَمَّا الْمُحَدِّثُ فِي عَصْرِنَا فَهُوَ مَنِ اشْتَغَلَ بِالْحَدِيْثِ رِوَايَةً وَدِرَايَةً وَاطَّلَعَ عَلَى كَثِيْرٍ مِنَ الرُّوَاةِ وَالرِّوَايَاتِ فِي عَصْرِهِ, وَتَمَيَّزَ فِي ذَلِكَ حَتَّى عُرِفَ فِيْهِ حِفْظُهُ وَاشْتَهَرَ فِيْهِ ضَبْطُهُ. فَإِنْ تَوَسَّعَ فِي ذَلِكَ حَتَّى عَرَفَ شُيُوْخَهُ وَشُيُوْخَ شُيُوْخِهِ طَبْقَةً بَعْدَ طَبْقَةٍ، بِحَيْثُ يَكُوْنَ مَا يَعْرِفُهُ مِنْ كُلِّ طَبْقَةٍ أَكْثَرَ مِمَّا يَجْهَلُهُ مِنْهَا، فَهَذَا هُوَ الْحَافِظُ (تدريب الرّاوي في شرح تقريب النّواوي 1 / 11) “Syaikh Ibnu Sayyidinnas berkata: Ahli hadis (al-Muhaddits) di masa kami adalah orang yang dihabiskan waktunya dengan hadis baik secara riwayat atau ilmu mushthalah, dan orang tersebut mengetahui beberapa perawi hadis dan riwayat di masanya, serta menonjol sehingga dikenal daya hafalannya dan daya akurasinya. Jika ia memiliki pengetahuan yang lebih luas sebingga mengetahui para guru, dan para maha guru dari berbagai tingkatan, sekira yang ia ketahui dari setiap jenjang tingkatan lebih banyak daripada yang tidak diketahui, maka orang tersebut adalah al-Hafidz” (Al-Hafidz as-Suyuthi, Syarah Taqrib I/11) وَقَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّيْنِ السُّبْكِي إِنَّهُ سَأَلَ الْحَافِظَ جَمَالَ الدِّيْنِ الْمِزِّي عَنْ حَدِّ الْحِفْظِ الَّذِي إِذَا انْتَهَى إِلَيْهِ الرَّجُلُ جَازَ أَنْ يُطْلَقَ عَلَيْهِ الْحَافِظُ ؟ قَالَ يُرْجَعُ إِلَى أَهْلِ الْعُرْفِ, فَقُلْتُ وَأَيْنَ أَهْلُ الْعُرْفِ ؟ قَلِيْلٌ جِدًّا, قَالَ أَقَلُّ مَا يَكُوْنُ أَنْ يَكُوْنَ الرِّجَالُ الَّذِيْنَ يَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُ تَرَاجُمَهُمْ وَأَحْوَالَهُمْ وَبُلْدَانَهُمْ أَكْثَرَ مِنَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْرِفُهُمْ, لِيَكُوْنَ الْحُكْمُ لِلْغَالِبِ, فَقُلْتُ لَهُ هَذَا عَزِيْزٌ فِي هَذَا الزَّمَانِ (تدريب الرّاوي في شرح تقريب النّواوي 1 / 11) “Syaikh Taqiyuddin as-Subki berkata bahwa ia bertanya kepada al-Hafidz Jamaluddin al-Mizzi tentang kriteria gelar al-Hafidz. Syaikh al-Mizzi menjawab: Dikembalikan pada ‘kesepakatan’ para pakar. Syaikh as-Subki bertanya: Siapa para pakarnya? Syaikh al-Mizzi menjawab: Sangat sedikit. Minimal orang yang bergelar al-Hafidz mengetahui para perawi hadis, baik biografinya, perilakunya dan asal negaranya, yang ia ketahui lebih banyak daripada yang tidak diketahui. Agar mengena kepada yang lebih banyak. Saya (as-Subki) berkata kepada beliau: Orang semacam ini sangat langka di masa sekarang (Abad ke 8 Hijriyah)” (Al-Hafidz as-Suyuthi, Syarah Taqrib I/11) Otodidak Bukan Ahli Hadis Pengertian otodidak adalah sebagai berikut: (الصَّحَفِيّ) مَنْ يَأْخُذُ الْعِلْمَ مِنَ الصَّحِيْفَةِ لاَ عَنْ أُسْتَاذٍ (المعجم الوسيط 1/ 508 تأليف إبراهيم مصطفى وأحمد الزيات وحامد عبد القادر ومحمد النجار) “Shahafi (otodidak) adalah orang yang mengambil ilmu dari kitab (buku), bukan dari guru” (Mu’jam al-Wasith I/508) يَقُوْلُ الدَّارِمِي مَا كَتَبْتُ حَدِيْثًا وَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ لاَ يُؤْخَذُ الْعِلْمُ مِنْ صَحَفِيٍّ (سير أعلام النبلاء للذهبي بتحقيق الارناؤط 8/ 34) “ad-Darimi (ahli hadis) berkata: Saya tidak menulis hadis (tapi menghafalnya). Ia juga berkata: Jangan mempelajari ilmu dari orang yang otodidak” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya adz-Dzahabi ditahqiq oleh Syuaib al-Arnauth, 8/34) Syuaib al-Arnauth memberi catatan kaki tentang ’shahafi’ tersebut: الصَّحَفِيُّ مَنْ يَأْخُذُ الْعِلْمَ مِنَ الصَّحِيْفَةِ لاَ عَنْ أُسْتَاذٍ وَمِثْلُ هَذَا لاَ يُعْتَدُّ بِعِلْمِهِ لِمَا يَقَعُ لَهُ مِنَ الْخَطَأِ “Shahafi ada orang yang mengambil ilmu dari kitab, bukan dari guru. Orang seperti ini tidak diperhitungkan ilmunya, sebab akan mengalami kesalahan” al-Hafidz adz-Dzahabi berkata: قَالَ الْوَلِيْدُ كَانَ اْلاَوْزَاعِي يَقُوْلُ كَانَ هَذَا الْعِلْمُ كَرِيْمًا يَتَلاَقَاهُ الرِّجَالُ بَيْنَهُمْ فَلَمَّا دَخَلَ فِي الْكُتُبِ دَخَلَ فِيْهِ غَيْرُ أَهْلِهِ وَرَوَى مِثْلَهَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنِ اْلاَوْزَاعِي. وَلاَ رَيْبَ أَنَّ اْلاَخْذَ مِنَ الصُّحُفِ وَبِاْلاِجَازَةِ يَقَعُ فِيْهِ خَلَلٌ وَلاَسِيَّمَا فِي ذَلِكَ الْعَصْرِ حَيْثُ لَمْ يَكُنْ بَعْدُ نَقْطٌ وَلاَ شَكْلٌ فَتَتَصَحَّفُ الْكَلِمَةُ بِمَا يُحِيْلُ الْمَعْنَى وَلاَ يَقَعُ مِثْلُ ذَلِكَ فِي اْلاَخْذِ مِنْ أَفْوَاهِ الرِّجَالِ (سير أعلام النبلاء للذهبي 7/ 114) “al-Walid mengutip perkataan al-Auza’i: “Ilmu ini adalah sesuatu yang mulia, yang saling dipelajari oleh para ulama. Ketika ilmu ini ditulis dalam kitab, maka akan dimasuki oleh orang yang bukan ahlinya.” Riwayat ini juga dikutip oleh Ibnu Mubarak dari al-Auza’i. Tidak diragukan lagi bahwa mencari ilmu melalui kitab akan terjadi kesalahan, apalagi dimasa itu belum ada tanda baca titik dan harakat. Maka kalimat-kalimat menjadi rancu beserta maknanya. Dan hal ini tidak akan terjadi jika mempelajari ilmu dari para guru” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya adz-Dzahabi, 7/114) Syuaib al-Arnauth juga memberi catatan kaki tentang hal tersebut: وَلِهَذَا كَانَ الْعُلَمَاءُ لاَ يَعْتَدُّوْنَ بِعِلْمِ الرَّجُلِ إِذَا كَانَ مَأْخُوْذًا عَنِ الصُّحُفِ وَلَمْ يَتَلَقَّ مِنْ طَرِيْقِ الرِّوَايَةِ وَالْمُذَاكَرَةِ وَالدَّرْسِ وَالْبَحْثِ “Oleh karena itu, para ulama tidak memeperhitungkan ilmu seseorang yang diambil dari buku, yang tidak melalui jalur riwayat, pembelajaran dan pembahasan” Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadis layak disebut ahli hadis? Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: أَمَّا مَنْ كَانَ يَكْتَفِي بِاْلأَخْذِ مِنَ الْكِتَابِ وَحْدَهُ دُوْنَ أَنْ يُعَرِّضَهُ عَلَى الْعُلَمَاءِ وَدُوْنَ أَنْ يَتَلَقَّى عِلْمُهُ فِي مَجَالِسِهِمْ فَقَدْ كَانَ عَرَضَةً لِلتَّصْحِيْفِ وَالتَّحْرِيْفِ، وَبِذَلِكَ لَمْ يَعُدُّوْا عِلْمَهُ عِلْمًا وَسَمُّوْهُ صَحَفِيًّا لاَ عَالِمًا …. فَقَدْ كَانَ الْعُلَمَاءُ يُضَعِّفُوْنَ مَنْ يَقْتَصِرُ فِي عِلْمِهِ عَلَى اْلأَخْذِ مِنَ الصُّحُفِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَلْقَى الْعُلَمَاءَ وَيَأْخُذَ عَنْهُمْ فِي مَجَالِسِ عِلْمِهِمْ، وَيَسُمُّوْنَهُ صَحَفِيًّا، وَمِنْ هُنَا اشْتَقُّوْا “التَّصْحِيْفَ” وَأَصْلُهُ “أَنْ يَأْخُذَ الرَّجُلُ اللَّفْظَ مِنْ قِرَاءَتِهِ فِي صَحِيْفَةٍ وَلَمْ يَكُنْ سَمِعَهُ مِنَ الرِّجَالِ فَيُغَيِّرُهُ عَنِ الصَّوَابِ”. فَاْلإِسْنَادُ فِي الرِّوَايَةِ اْلأَدَبِيَّةِ لَمْ يَكُنْ، فِيْمَا نَرَى، إِلاَّ دَفْعًا لِهَذِهِ التُّهْمَةِ (مصادر الشعر الجاهلي للشيخ ناصر الاسد ص 10 من مكتبة الشاملة) “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10) Masalah otodidak ini sudah ada sejak lama dalam ilmu hadis. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengomentari seseorang yang otodidak berikut ini: فَإِنَّهُ (اَيْ أَبَا سَعِيْدِ بْنِ يُوْنُسَ) كَانَ صَحَفِيًّا لاَ يَدْرِي مَا الْحَدِيْثُ (تهذيب التهذيب للحافظ ابن حجر 6/ 347) “Abu Said bin Yunus adalah orang otodidak yang tidak mengerti apa itu hadis” (Tahdzib al-Tahdzib VI/347) al-Hafidz Ibnu Hajar dan adz-Dzahabi memberi contoh nama lain tentang shahafi: 174 – عَبْدُ الْمَلِكِ بْنِ حَبِيْبِ الْقُرْطُبِي أَحَدُ اْلأَئِمَّةِ وَمُصَنِّفُ الْوَاضِحَةِ كَثِيْرُ الْوَهْمِ صَحَفِيٌّ وَكَانَ بْنُ حَزْمٍ يَقُوْلُ لَيْسَ بِثِقَةٍ وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُوْ بَكْرِ بْنِ سَيِّدِ النَّاسِ فِي تَارِيْخِ اَحْمَدَ بْنِ سَعِيْدِ الصَّدَفِي تَوَهَّنَهُ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنِ حَبِيْبٍ وَاِنَّهُ صَحَفِيٌّ لاَ يَدْرِي الْحَدِيْثَ (لسان الميزان للحافظ ابن حجر 4/ 59 وميزان الاعتدال للذهبي 2/ 652) “Abdul Malik bin Habib al-Qurthubi, salah satu imam dan pengarang kitab yang banyak prasangka, adalah seorang otodidak. Ibnu Hazm berkata: Dia bukan orang terpercaya. al-Hafidz Ibnu Sayyidinnas berkata bahwa Abdul Malik bin Habib adalah otodidak yang tak mengerti hadis” (Lisan al-Mizan 4/59 dan Mizan al-I’tidal 2/652) Begitu pula al-Hafidz Ibnu an-Najjar berkata: عُثْمَانُ بْنُ مُقْبِلِ بْنِ قَاسِمِ بْنِ عَلِيٍّ أَبُوْ عَمْرٍو الْوَاعِظُ الْحَنْبَلِيُّ …. وَجَمَعَ لِنَفْسِهِ مُعْجَمًا فِي مُجَلَّدَةٍ وَحَدَّثَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ مَعْرِفَةٌ بِالْحَدِيْثِ وَاْلاِسْنَادِ وَقَدْ صَنَّفَ كُتُبًا فِي التَّفْسِيْرِ وَالْوَعْظِ وَالْفِقْهِ وَالتَّوَارِيْخِ وَفِيْهَا غَلَطٌ كَثِيْرٌ لِقِلَّةِ مَعْرِفَتِهِ بِالنَّقْلِ ِلاَنَّهُ كَانَ صَحَفِيًّا يَنْقُلُ مِنَ الْكُتُبِ وَلَمْ يَأْخُذْهُ مِنَ الشُّيُوْخِ (ذيل تاريخ بغداد لابن نجار 2/ 166) “Utsman bin Muqbil bin Qasim bin Ali al-Hanbali… Ia telah menghimpun kitab Mu’jam dalam beberapa jilid dan mengutip hadis, padahal ia tidak mengetahui tentang hadis dan sanad. Ia juga mengarang kitab-kitab tafsir, mauidzah, fikih dan sejarah. Di dalamnya banyak kesalahan, karena minimnya pengetahuan tentang riwayat. Sebab dia adalah otodidak yang mengutip dari beberapa kitab, bukan dari para guru” (Dzailu Tarikhi Baghdad II/166) Ibnu al-Jauzi dan adz-Dzahabi juga berkomentar tentang shahafi: 114 خَلاَسُ بْنُ عَمْرٍو الْهِجْرِي : يُرْوَي عَنْ عَلِيٍّ وَعَمَّارٍ وَأَبِي رَافِعٍ كَانَ مُغِيْرَةُ لاَ يَعْبَأُ بِحَدِيْثِهِ وَقَالَ أَيُّوْبُ لاَ يُرْوَ عَنْهُ فَإِنَّهُ صَحَفِيٌّ (الضعفاء والمتروكين لابن الجوزي 1/ 255 والمغني في الضعفاء للذهبي 1/ 210) “Khalas bin Amr al-Hijri. Diriwayatkan dari Ali, Ammar dan Abi Rafi’ bahwa Mughirah tidak memperhatikan hadisnya. Ayyu berkata: Janganlan meriwayatkan hadis dari Khalas bin Amr, karena ia otodidak” (adh-Dhu’afa wa al-Matrukin 1/255 dan al-Mughni fi Dhu’afa’ 1/210) Imam ar-Razi dan Ibnu ‘Adi juga melarang mempelajari hadis dari shahafi: بَابُ بَيَانِ صِفَةِ مَنْ لاَ يُحْتَمَلُ الرِّوَايَةُ فِي اْلاَحْكَامِ وَالسُّنَنِ عَنْهُ … عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوْسَى اِنَّهُ قَالَ لاَ تَأْخُذُوْا الْحَدِيْثَ عَنِ الصَّحَفِيِّيْنَ وَلاَ تَقْرَأُوْا الْقُرْآنَ عَلَى الْمُصْحَفِيِّيْنَ (الجرح والتعديل للرازي 2/ 31 والكامل في ضعفاء الرجال لابن عدي 1/ 156) “Bab tentang sifat orang-orang yang tidak boleh meriwayatkan hukum dan sunah darinya… Dari Sulaiman bin Musa, ia berkata: Janganlah mengambil hadis dari orang otodidak dan janganlah belajar al-Quran dari orang yang otodidak” (al-Razi dalam al-Jarhu wa at-Ta’dil 2/31 dan Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil 1/156) Dengan demikian, orang yang otodidak dalam hadis yang tidak memiliki guru bukanlah ahli hadis, karya kitab-kitabnya banyak ditemukan kesalahan-kesalahan dan para ulama melarang mengutip riwayat darinya. Syaikh Nashiruddin al-Albani yang Otodidak Syaikh Albani awalnya adalah tukang service jam, namun ia punya semangat mempelajari hadis di Perpustakaan adh-Dhahiriyah di Damaskus. Konon setiap harinya mencapai 12 jam di Perpustakaan. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu shalat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan. Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuknya. Bahkan kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, Al-Albani makin leluasa mempelajari banyak sumber Sekilas biografi diatas sesuai dengan kisah berikut ini. Diceritakan bahwa ada seseorang dari Mahami yang bertanya kepada Syaikh Albani: “Apakah anda ahli hadis (Muhaddis)?” Syaikh Albani menjawab: “Ya!” Ia bertanya: “Tolong riwayatkan 10 hadis kepada saya beserta sanadnya!” Syaikh Albani menjawab: “Saya bukan ahli hadis penghafal, saya ahli hadis kitab.” Orang tadi berkata: “Saya juga bisa kalau menyampaikan hadis ada kitabnya.” Lalu Syaikh Albani terdiam (Baca Syaikh Abdullah al-Harari dalam Tabyin Dlalalat Albani 6) Ini menunjukkan bahwa Syaikh Albani adalah Shahafi atau otodidak ketika mendalami hadis dan ia sendiri mengaku bukan penghafal hadis. Dalam ilmu Musthalah Hadis jika ada perawi yang kualitas hafalannya buruk (sayyi’ al-hifdzi) maka status hadisnya adalah dlaif, bukan perawi sahih. Demikian juga hasil takhrij yang dilakukan oleh Syaikh Albani yang tidak didasari dengan ‘Dlabit’ (akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-Hafidz dalam ilmu hadis) juga sudah pasti lemah dan banyak kesalahan. Bahwa Albani tidak mempelajari hadis dari para ahlinya ini dibuktikan dalam kitab-kitab biografi tentang Albani yang ditulis oleh para pengikutnya seperti ‘Hayatu al-Albani’ karya asy-Syaibani, ‘Tsabat Muallafat al-Albani’ karya Abdullah bin Muhammad asy-Syamrani dan sebagainya. Pada umumnya tatkala kita membuka kitab-kitab biografi para ulama, di depan mukaddimah terdapat sejarah tentang perjalanan menuntut ilmu dan para gurunya. Namun hal ini tidak terjadi dalam buku-buku biografi Albani, justru yang disebutkan oleh pengikutnya adalah untaian kalimat miris berikut ini: عُرِفَ الشَّيْخُ اْلأَلْبَانِي رَحِمَهُ اللهُ بِقِلَّةِ شُيُوْخِهِ وَبِقِلَّةِ إِجَازَاتِهِ . فَكَيْفَ اسْتَطَاعَ أَنْ يُلِّمَّ بِالْعُلُوْمِ وَلاَ سِيَّمَا عِلْمِ الْحَدِيْثِ وَعِلْمِ الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْلِ عَلَى صُعُوْبَتِهِ ؟ (ثبت مؤلفات الألباني لعبد الله بن محمد الشمراني 7) “Syaikh Albani dikenal dengan sedikitnya guru dan minimnya ijazah dalam hadis. Maka bagaimana ia mampu memperdalam ilmu-ilmu, apalagi ilmu hadis dan ilmu tentang metode memberi penialaian cacat dan adil yang sangat sulit?” (Tsabat Muallafat al-Albani’ karya Abdullah bin Muhammad asy-Syamrani, 7) Ini adalah sebuah pengakuan dan pertanyaan yang tak pernah dijawab oleh muridnya sendiri?! Kesalahan Albani Dikoreksi Para Pengikutnya Penilaian yang bersifat obyektif adalah koreksi yang secara sadar disampaikan sendiri oleh para pengikut Albani. Abdullah ad-Dawisy yang merupakan pengikut Wahhabi memberi otokritik kepada Albani yang dinilainya sering ‘tanaqudh’ (kontradiksi) dan memberi ‘warning’ (peringatan) kepada para penelaah kitab Albani agar tidak ‘tertipu’ dengan penilaian Albani tentang kedhaifan hadis. Berikut pembuka komentarnya: أَمَّا بَعْدُ : فَهَذِهِ أَحَادِيْثُ وَآثَارٌ وَقَفْتُ عَلَيْهَا فِي مُؤَلَّفَاتِ الشَّيْخِ مُحَمَّدٍ نَاصِرِ الدِّيْنِ اْلأَلْبَانِي تَحْتَاجُ إِلَى تَنْبِيْهٍ مِنْهَا مَا ضَعَّفَهُ وَلَمْ يَتَعَقَّبْهُ وَمِنْهَا مَا ضَعَّفَهُ فِي مَوْضِعٍ وَقَوَّاهُ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَمِنْهَا مَا قَالَ فِيْهِ لَمْ أَجِدْهُ أَوْ لَمْ أَقِفْ عَلَيْهِ أَوْ نَحْوَهُمَا ، وَلَمَّا رَأَيْتُ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ يَأْخُذُوْنَ بِقَوْلِهِ بِدُوْنِ بَحْثٍ نَبَّهْتُ عَلَى مَا يَسَّرَنِيَ اللهُ تَعَالَى . فَمَا ضَعَّفَهُ وَهُوَ صَحِيْحٌ أَوْ حَسَنٌ وَلَمْ يَتَعَقَّبْهُ بَيَّنْتُهُ وَمَا ضَعَّفَهُ فِي مَوْضِعٍ ثُمَّ تَعَقَّبَهُ ذَكَرْتُ تَضْعِيْفَهُ ثُمَّ ذَكَرْتُ تَعْقِيْبَهُ لِئَلاَّ يَقْرَأَهُ مَنْ لاَ اطِّلاَعَ لَهُ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي ضَعَّفَهُ فِيْهِ فَيَظُنُّهُ ضَعِيْفًا مُطْلَقًا وَلَيْسَ اْلأَمْرُ عَلَى مَا ظَنَّهُ (تنبيه القارئ على تقوية ما ضعفه الألباني عبدالله بن محمد الدويش 5) “Kitab ini terdiri dari hadis dan atsar yang saya temukan dalam kitab-kitab Syaikh Albani yang memerlukan peringatan, diantaranya hadis yang ia nilai dhaif tapi tidak ia ralat, diantaranya juga hadis yang ia nilai dhaif di satu kitab tetapi ia sahihkan di kitab yang lain, juga yang ia katakan ’saya tidak menemukannya’ (padahal dapat ditemukan dalam kitab-kitab hadis), dan sebagainya. Ketika saya melihat banyak orang yang mengambil keterangan dari Albani tanpa meneliti maka saya ingatkan, sesuai yang dimudahkan oleh Allah kepada saya. Maka, apa yang didhaifkan oleh Albani padahal hadis itu sahih atau hasan, maka saya jelaskan. Juga hadis yang didhaifkan Albani di satu kitab tapi ia ralat, maka saya sebutkan penilaian dhaifnya dan ralatannya tersebut. Supaya tidak dibaca oleh orang yang tidak mengerti di bagian kitab yang dinilai dhaif oleh Albani sehingga ia menyangka bahwa hadis itu dhaif secara mutlak, padahal hakikatnya tidak seperti itu” (Tanbih al-Qari’, 5) Kritik ad-Dawisy ini dipuji oleh penulis biografi Albani, asy-Syamrani, yang dinilainya memuliakan dan memiliki sopan santun kepada Syaikh Albani (Baca kitab Asy-Syamrani, Tsabat Muallafat Albani, 98) Contoh kongkrit adalah hadis riwayat Ahmad dan Abu Dawud di bawah ini yang dinilai dhaif oleh Albani dalam kitab Takhrij Ahadits al-Misykat 1/660: عن معاذ الجهني قال قال رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَعَمِلَ بِمَا فِيهِ أُلْبِسَ وَالِدَاهُ تَاجًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ضَوْءُهُ أَحْسَنُ مِنْ ضَوْءِ الشَّمْسِ فِي بُيُوتِ الدُّنْيَا ، لَوْ كَانَتْ فِيكُمْ فَمَا ظَنُّكُمْ بِالَّذِي عَمِلَ بِهَذَا » . رواه أحمد وأبو داود . قال في تخريج أحاديث المشكاة : إسناده ضعيف ( جـ 1 ص 660) . انتهى . أقول : ليس الأمر كما قال : بل حسن أو صحيح . ولعله لم يطلع على ما يشهد له وقد ورد ما يشهد له ويقويه من حديث بريدة … وهذا الإسناد على شرط مسلم فقد خرج لبشير بن مهاجر في صحيحه ، ورواه الحاكم وصححه . ووافقه الذهبي ، وقال الهيثمي في مجمع الزوائد (جـ 7 ص 159) : رواه أحمد ورجاله رجال الصحيح وذكر له شواهد من حديث أبي أمامة وأبي هريرة ومعاذ بن جبل . وبالجملة فالحديث أقل أحواله أن يكون حسنًا والقول بصحته ليس ببعيد والله أعلم (تنبيه القارئ على تقوية ما ضعفه الألباني 7) Ad-Dawisy berkata: “Yang benar tidak seperti yang dikatakan Albani. Bahkan hadis ini adalah hasan atau sahih! Bisa jadi Albani tidak mengetahui hadis penguat lain (syahid) dari riwayat Buraidah yang sanadnya sesuai kriteria sahih Muslim yang disahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi menyetujuinya. Alhaitsami berkata dalam Majma’ az-Zawaid (7/159): HR Ahmad, perawinya adalah perawi hadis sahih. Secara umum, hadis ini minimal adalah hasan, dan pendapat yang menyatakan sahih dapat diterima” (Tanbih al-Qari’, 7) Jika ad-Dawisy mampu mematahkan keilmuan Albani di bidang hadis, lalu mengapa Wahhabi masih taklid buta kepada Albani? Abdullah bin Muhammad ad-Dawisy menilai kontradiksi Albani yang dinilainya dlaif di satu kitab tetapi ia sahihkan di kitab lain berjumlah 294 hadis. Sementara yang sebaliknya (dari sahih ke dhaif) berjumlah 13 hadis (Baca keseluruhan kitab Tanbih al-Qari’). Sebuah kesalahan fatal bagi ahli hadis yang tak pernah terjadi sebelumnya dan Albani adalah pemecah rekornya! Dalam Shofware kitab Maktabah asy-Syamilah yang sudah popular, terdapat sebuah kitab yang memuat ralatan atas kesalahah penilaian Albani dalam masalah hadis, anehnya kitab ini tidak disebutkan pengarangnya tetapi masuk ke dalam folder kitab-kitab Albani. Kitab tersebut bernama ‘Taraju’at Syaikh Albani’. Dalam kitab tersebut memuat beberapa kesalahan Albani dengan rincian sebagai berikut: Dhaif ke sahih atau hasan sebanyak 114 hadis, sahih atau hasan ke dlaif sebanyak 71 hadis, Hasan ke sahih atau sebaliknya sebanyak 9 hadis, dlaif ke maudlu’ sebanyak 6 hadis. Dengan demikian kesemuanya berjumlah 200 hadis Kesalahan Dalam Karya-Karya Syaikh Albani Kesalahan Albani tidak hanya diakui oleh murid-muridnya sendiri. Kenyataan di atas juga diakui oleh Syaikh Yusuf Qardhawi di dalam tanggapan beliau terhadap al-Albani yang mengomentari hadis-hadis di dalam kitabnya berjudul ‘al-Halal wal-Haram fil-Islam’, sebagai berikut: “Oleh sebab itu, penetapan Syaikh al-Albani tentang dha’if-nya suatu hadits bukan merupakan hujjah yang qath’i (pasti) dan sebagai kata pemutus. Bahkan dapat saya katakan bahwa Syaikh al-Albani hafizhahullah kadang-kadang melemahkan suatu hadits dalam satu kitab dan mengesahkannya (menshahihkannya) dalam kitab lain”. (Lihat Halal dan Haram, DR. Yusuf Qardhawi, Robbani Press, Jakarta, 2000, hal. 417). Syaikh Yusuf Qardhawi juga banyak menghadirkan bukti-bukti kecerobohan al-Albani dalam menilai hadis yang sekaligus menunjukkan sikapnya yang “tanaqudh”. Berikut beberapa bukti kongkrit kontradiksi Albani dalam menilai hadis yang telah diteliti oleh Syaikh Hasan bin Ali Assegaf (Cucu Sayyid Abdurrahman Assegaf pengarang kitab Syarah Fathul Muin, Tarsyih al-Mustafidin) dalam kitab beliau yang bernama ‘Tanaqudhat al-Albani al-Wadhihat’: Hadis Pertama حديث عن محمود بن لبيد قال : أخبر رسول الله صلى الله عليه وآله عن رجل طلق امرأته ثلاث تطليقات جميعا ، فقام غضبان ، ثم قال : (أيلعب بكتاب الله عزوجل وأنا بين أظهركم ؟ !) حتى قام رجل فقال : يا رسول الله ألا أقتله ؟ ! رواه النسائي . ضعفه الالباني في تخريج (مشكاة المصابيح) الطبعة الثالثة ، بيروت – سنة 1405 ه‍ المكتب الاسلامي (2 / 981) فقال : ورجاله ثقات لكنه من رواية مخرمة عن أبيه ولم يسمع منه . اه‍ ثم تناقض فصححه في كتاب (غاية المرام تخريج أحاديث الحلال والحرام) طبعة المكتب الاسلامي ، الطبعة الثالثة 1405 ه‍ صفحة (164) حديث رقم (261) “Albani menilainya dlaif dalam Misykat al-Mashabih (Juz II hal. 981. Cetakan III, Beirut, 1405 H, al-Maktab al-Islami). Kemudian ia menilainya sahih dalam Kitab Ghayat al-Maram Takhrij Ahadits al-Halal wa al-Haram (Hal. 164 No hadis: 261, Cetakan III, Maktab al-Islami, 1405 H)” Hadis Kedua حديث : إذا كان أحدكم في الشمس فقلص عنه الظل وصار بعضه في الظل وبعضه في الشمس فليقم) أقول : صححه الالباني فقال في صحيح الجامع الصغير وزيادته (1 / 266 / 761) صحيح الاحاديث الصحيحة : 835 . اه‍ ثم تناقض فضعفه في : تخريج (مشكاة المصابيح) (3 / 1337 / برقم 4725 الطبعة الثالثة) وقد عزاه في كل من الموضعين إلى سنن أبي داود . “Albani menilainya sahih dalam Kitab Sahih al-Jami’ ash-Shaghir wa Ziyadatuhu (I/266) dan Sahih al-Hadits ash-Shahihah No 835. Kemudian Albani menilainya dlaif dalam Kitab Misykat al-Mashabih (Juz III, hal. 1337 No hadis: 4725 Cetakan III)” Hadis Ketiga حديث : الجمعة حق واجب على كل مسلم … ضعفه الالباني في : تخريج (مشكاة المصابيح) (1 / 434) : فقال : رجاله ثقات وهو منقطع كما أشار أبو داود اه‍ بمعناه ومن التناقضات أنه : أورد الحديث في إرواء الغليل (3 / 54 / برقم 592) وقال : صحيح . اه‍ فتدبروا يا أولي الالباب . Albani menilai dlaif dalam Kitab Misykat al-Mashabih (I/434), ia berkata: Perawinya terpercaya tetapi hadis ini terputus sebagaimana isyarah Abu Dawud. Namun hadis ini dicantumkan oleh Albani dalam Kitab Irwa’ al-Ghalil (III/54 No hadis: 592). Albani berkata: “Hadis ini sahih” Hadis Keempat حديث : عبد الله بن عمرو مرفوعا : (الجمعة على من سمع النداء) رواه أبو داود . صححه الالباني في : (إرواء الغليل) (3 / 58) فقال : حسن . اه‍ وناقض نفسه فضعفه في : تخريج مشكاة المصابيح 1 / 343) (برقم 1375) حيث قال : سنده ضعيف . اه‍ “Albani menilai sahih dalam Kitab Irwa’ al-Ghalil (III/58). Albani berkata: “Hadis ini hasan”. Tetap Albani menilainya dlaif dalam Kitab Misykat al-Mashabih (I/343 No hadis 1375). Albani berkata: “Sanadnya dlaif” Hadis Kelima حديث أنس بن مالك أن رسول الله صلى الله عليه وآله كان يقول : (لا تشددوا على أنفسكم فيشدد الله عليكم فإن قوما شددوا على أنفسهم فشدد الله عليهم . . .) رواه أبو داود . ضعفه الالباني في : (تخريج المشكاة) (1 / 64) فقال : بسند ضعيف اه‍ . ثم تناقض فحسنه في آخر تخريجه في (غاية المرام) ص (141) بعد أن حكم عليه هناك أيضا بالضعف فقال : فلعل حديثه هذا حسن بشاهده المرسل عن أبي قلابة . اه‍ “Albani menilai dlaif dalam Kitab Misykat al-Mashabih (I/64). Albani berkata: “Diriwayatkan dengan sanad yang dlaif. Tapi Albani menilainya hasan dalam Kitab Ghayat al-Maram hal. 141, setelah menghukuminya dlaif, Albani berkata: “Semoga hadis ini hasan dengan dalil penguat secara Mursal dari Abu Qilabah” Hadis Keenam حديث السيدة عائشة رضي الله عنها قالت : (من حدثكم أن النبي صلى الله عليه وآله كان يبول قائما فلا تصدقوه ما كان يبول إلا قاعدا) رواه أحمد والترمذي والنسائي . ضعفه الالباني في تخريج (مشكاة المصابيح) (1 / 117) فقال : اسناده ضعيف اه‍ ثم من تناقضاته أنه صححه في سلسلة الاحاديث الصحيحة (1 / 345 برقم 201) فتأمل أخي القارئ “Albani menilai dlaif dalam Kitab Misykat al-Mashabih (I/171). Albani berkata: “Sanadnya dlaif”. Tapi Albani menilainya sahih dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah (I/345 No hadis 201)” Hadis Ketujuh حديث : ثلاثة لا تقربهم الملائكة جيفة الكافر والمتضمخ بالخلوق والجنب إلا أن يتوضأ) رواه أبو داود . صححه الالباني في (صحيح الجامع الصغير وزيادته) (3 / 71 برقم 3056) فقال : حسن تخريج الترغيب (1 / 91) . اه‍ ومن تناقضاته أنه ضعفه في تخريج (مشكاة المصابيح) (1 / 144 برقم 464) فقال : ورجاله ثقات لكنه منقطع بين الحسن البصري وعمار فإنه لم يسمع منه كما قال المنذري في الترغيب (1 / 91) . “Albani menilainya sahih dalam kitab Sahih al-Jami’ No 3056, ia berkata: “hadis ini hasan”. Tetapi Albani menilainya dhaif dalam Kitab Tajhrij Misykat al-Mashabih No 464. Albani berkata: “Perawinya terpercaya, tetapi hadis ini terputus antara Hasan Bashri dan Ammar” Syaikh Hasan bin Ali Assegaf dalam Kitabnya ‘Tanaqudhat al-Albani al-Qadhihat’ dalam Juz Pertama memuat 249 kesalahan Albani, baik dari sahih ke dhaif maupun sebaliknya. Tulisan Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf yang berjudul Tanaqudhat al-Albani al-Wadhihat merupakan kitab yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal al-Albani tersebut. Beliau mencatat seribu lima ratus (1500) kesalahan yang dilakukan al-Albani lengkap dengan data dan faktanya. Bahkan menurut penelitian ilmiah beliau, ada tujuh ribu (7000) kesalahan fatal dalam buku-buku yang ditulis al-Albani. Dengan demikian, apabila mayoritas ulama sudah menegaskan penolakan tersebut, berarti Nashiruddin al-Albani itu memang tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan. Di antara Ulama Islam yang mengkritik al-Albani adalah al-Imam al-Jalil Muhammad Yasin al-Fadani penulis kitab al-Durr al-Mandhud Syarh Sunan Abi Dawud dan Fath al-’Allam Syarh Bulugh al-Maram; al-Hafizh Abdullah al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdul Aziz al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdullah al-Harari al-Abdari dari Lebanon pengarang Syarh Alfiyah al-Suyuthi fi Mushthalah al-Hadits; al-Muhaddits Mahmud Sa’id Mamduh dari Uni Emirat Arab pengarang kitab Raf’u al-Manarah li-Takhrij Ahadits al-Tawassul wa al-Ziyarah; al-Muhaddits Habiburrahman al-A’zhami dari India; Syaikh Muhammad bin Ismail al-Anshari seorang peniliti Komisi Tetap Fatwa Wahhabi dari Saudi Arabia; Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Khazraji menteri agama dan wakaf Uni Emirat Arab; Syaikh Badruddin Hasan Dayyab dari Damaskus; Syaikh Muhammad Arif al-Juwaijati; Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf dari Yordania; al-Imam al-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dari Mekkah; Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dari Najd (ulama Wahabi-red) yang menyatakan bahwa al-Albani tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali; dan lain-lain. Masing-masing ulama tersebut telah mengarang bantahan terhadap al-Albani (sebagian dari buku-buku al-Albani dan bantahannya ada pada perpustakaan Tim PCNU Jember). Syaikh Albani Mendhaifkan Hadis Bukhari-Muslim Kesalahan fatal dan sembrono Albani juga nampak jelas ketika ia banyak menilai dhaif dalam kitab sahih Bukhari dan Sahih Muslim, yang telah dinobatkan oleh umat sebagai kitab yang paling valid (sahih) setelah al-Quran. berikut bukti-bukti nyata: Hadis Pertama: حديث : (قال الله تعالى : ثلاثة أنا خصمهم يوم القيامة : رجل أعطى بي ثم غدر ، ورجل باع حرا فأكل ثمنه ، ورجل استأجر أجيرا فاستوفى منه ولم يعطه أجره)) . قال الالباني في ضعيف الجامع وزيادته) (4 / 111 برقم 4054) : رواه أحمد والبخاري (2114) عن أبي هريرة (ضعيف) ! ! ! “Albani berkata: “Hadis ini dhaif” (Dhaif al-Jami’ ash-Shaghir No 4054). Hadis ini Diriwayatkan oleh al-Bukhari No 2114″ Hadis Kedua: حديث : (لا تذبحوا إلا بقرة مسنة ، إلا أن تتعسر عليكم فتذبحوا جذعة من الضأن) . قال الالباني في (ضعيف الجامع وزيادته) (6 / 64 برقم 6222) : رواه الامام أحمد ومسلم (1963) وأبو داود والنسائي وابن ماجه عن جابر (ضعيف) ! ! ! . “Albani berkata: “Hadis ini dhaif” (Dhaif al-Jami’ ash-Shaghir No 6222). Hadis ini Diriwayatkan oleh Muslim No 1963″ Hadis Ketiga: حديث : (إن من شر الناس عند الله منزلة يوم القيامة الرجل يفضي إلى امرأته ، وتفضي إليه ثم ينشر سرها) . قال الالباني في (ضعيف الجامع وزيادته) (2 / 197 برقم 2005) : رواه مسلم (1437) عن أبي سعيد ” (ضعيف) ! ! ! . “Albani berkata: “Hadis ini dhaif” (Dhaif al-Jami’ ash-Shaghir No 2005). Hadis ini Diriwayatkan oleh Muslim No 1437″ Hadis Keempat: حديث : (إذا قام أحدكم من الليل فليفتتح صلاته بركعتين خفيفتين) قال الالباني في (ضعيف الجامع وزيادته) (1 / 213 برقم 718) : رواه الامام أحمد ومسلم (768 ( عن أبي هريرة (ضعيف) ! ! “Albani berkata: “Hadis ini dhaif” (Dhaif al-Jami’ ash-Shaghir No 719). Hadis ini Diriwayatkan oleh Muslim No 769″ Hadis Kelima: حديث : (أنتم الغر المحجلون يوم القيامة ، من إسباغ الوضوء ، فمن استطاع منكم فليطل غرته وتحجيله) (1) . قال الالباني في (ضعيف الجامع وزيادته) (14 / 2 برقم 1425) : رواه مسلم (246) عن أبي هريرة (ضعيف بهذا التمام) . “Albani berkata: “Hadis ini dhaif” (Dhaif al-Jami’ ash-Shaghir No 1425). Hadis ini Diriwayatkan oleh Muslim No 246″ Hadis Keenam: حديث : (إن من أعظم الامانة عند الله يوم القيامة الرجل يفضي إلى امرأته . . .) (2) . قال الالباني في (ضعيف الجامع وزيادته) (2 / 192 برقم 1986) : رواه أحمد ومسلم (1437) وأبو داود عن أبي سعيد (ضعيف) ! ! . “Albani berkata: “Hadis ini dhaif” (Dhaif al-Jami’ ash-Shaghir No 1986). Hadis ini Diriwayatkan oleh Muslim No 1437″ Hadis Ketujuh: حديث : (من قرأ العشر الاواخر من سورة الكهف عصم من فتنة الدجال). قال الالباني في (ضعيف الجامع وزيادته) (5 / 233 برقم : 5772 رواه أحمد ومسلم (809) والنسائي عن أبي الدرداء (ضعيف) ! ! “Albani berkata: “Hadis ini dhaif” (Dhaif al-Jami’ ash-Shaghir No 1986). Hadis ini Diriwayatkan oleh Muslim No 1437″ Hadis Kedelapan: حديث : (كان له صلى الله عليه وسلم فرس يقال له اللحيف) . قال الالباني في ضعيف الجامع وزيادته) (4 / 208 برقم 4489 : رواه البخاري (2855) عن سهل بن سعد (ضعيف) ! ! ! . “Albani berkata: “Hadis ini dhaif” (Dhaif al-Jami’ ash-Shaghir No 4489). Hadis ini Diriwayatkan oleh al-Bukhari No 2855″ Penutup Walhasil, Syaikh Nashiruddin al-Albani bukan al-Hafidz yang berhak memberi penilaian status hadis. Jangankan menjadi al-Hafidz, untuk memenuhi criteria sebagai ‘Muhaddits’ masih sangat jauh. Masihkah anda lebih percaya pada takhrij Albani dengan mengalahkah ulama sekaliber al-Hafidz Ibnu Hajar, al-Hafidz as-Suyuthi, adz-Dzahabi, dan ahli hadis lainnya? oleh: Moh. Ma’ruf Khozin (Ketua LBM NU Surabaya)